Salah satu adat istiadat yang cukup dikenal di Sulawesi Selatan adalah Mappalili. Mappalili (Bugis) atau Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya.
Sejarah Ritual Adat Mappalili
Diceritakan Pada masa pemerintahan kerajaan (Somba, Karaeng, Arung) masing-masing diwilayahnya pernah terjadi masa penceklik (Kekurangan bahan makanan) akibat kegagalan panen yang disebabkan oleh serangan hama secara menyeluruh sehingga pada saat itu terjadi krisis pangan. Masyarakat menderita dan dihantui oleh kondisi kelaparan. Hal ini bukan merupakan faktor alam yang menjadi penyebab gagalnya panen, karena ketersediaan air pada waktu itu terbilang cukup. Untuk itu masing-masing kerajaan mengundang para petinggi kerajaan untuk membahas masalah yang terjadi.
Musyawarah berkembang dengan menghasilkan kesepakatan. Sistem bercocok tanam yang keliru, pola tanam harus diubah maka lahirlah permufakatan sebagai berikut:
- Pengaturan masa turun sawah dilaksanakan secara serentak
- Pengaturan masa hambur
- Pengaturan masa tanam
Dari pembahasan ini, maka jadilah sistem dan pola tanam yang baru karena dinilai berhasil dan mampu meningkatkan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam masyarakat. Maka hal tersebut berkembang dan dilakukan setiap tahun memasuki masa tanam.
Sejak saat itu pula budaya Mappalili atau Appalili (komando turun sawah) dilakukan secara berkelanjutan sampai saat sekarang ini. Pelaksanaan Mappalili memiliki unsur yang tidak terpisahkan dari satu dengan unsur yang lainnya, dan sebagai simbol pemersatu yang diakui dan memiliki nilai yang tinggi tentang fungsi dan tujuannya. Tahap pelaksaannya pun tidak dapat dipisahkan dari tatanan sebuah upacara adat yang memiliki nilai sakral dan fungsi sosial yang tinggi. Mappalili senantiasa dijadikan sebagai hajatan masyarakat tingkat kecamatan bahkan ketingkat Kabupaten. Perbedaan memang dapat dijadikan sebagai ciri khas sebuah pelaksanaan adat dalam suatu daerah. Namun pada dasarnya semua memiliki makna pengharapan kepada sang pencipta untuk memberikan curahan rahmat kepada manusia berupa hasil panen yang baik.
Peran Bissu Dalam Ritual Adat Mappalili
![]() |
Maggiri, Tarian khas Suku Bugis |
Bissu berasal dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya bukan perempuan. Bissu berasal dari kata “bessi” atau “mabessi”, yang berarti bersih, suci, tidak kotor karena mereka tidak berpayudara dan tidak mengalami menstruasi. Selain waria, ada pula Bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi Bissu setelah mengalami monopouse.
Untuk menjadi seorang Bissu memerlukan beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon Bissu seperti makkanre guru atau belajar dari yang memiliki ilmu tentang kebissuan dan proses yang paling sulit adalah ire’ba atau ditidurkan selama tujuh hari tujuh malam. Ritual ini dilakukan untuk menghilangkan sifat duniawi calon Bissu, sehingga ilmu-ilmu atau ajaran toriolong (orang dulu) dapat dipahami dengan jelas.
Bissu juga menyebut diri mereka sebagai pendeta Bugis kuno, mereka di percaya oleh masyarakat Bugis memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Dewata karana dianggap menguasai bahasa torilangi’e atau bahasa orang langit.
Salah satu yang menarik dari ritual Mappalili ini adalah peran Bissu sebagai pemimpin upacara. Dimana Bissu adalah pria feminim yang tidak mempan senjata tajam saat menunjukkan atraksi seni tari ma’giri. Dalam kehidupan sosial, pria feminim atau pria yang bertingkahlaku sebagaimana perempuan biasa disebut waria, wandu atau banci. Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai.
Saat ritual Mappalili dilakukan, mantra atau puji-pujian yang dilantunkan oleh para Bissu dianggap sebagai bentuk komunikasi Bissu terhadap Dewata agar diberikan rahmat atau diberikan perlindungan atas bala atau hal-hal yang dapat menurunkan hasil panen petani.
Saat ritual ini tidak dilakukan, masyarakat di Segeri terutama di Kelurahan Bontomate’ne percaya bahwa akan membuat Dewata marah dan akan berakibat pada turunnya hasil panen petani. Hal inilah yang menjadikan ritual Mappalili sebagai ritual yang sangat unik dikalangan masyarakat Bugis karena peran Bissu sebagai pemimpin atau motor jalannya ritual tersebut.
Prosesi ritual Mappalili
- Prosesi ritual Mappalili dimulai dengan prosesi Tudang sipulung atau musyawarah yaitu mengumpulkan Bissu dan pemangku adat untuk membahas persiapan ritual
- prosesi yang kedua adalah Matte’du Arajang atau membangunkan arajang yang telah tidur selama setahun penuh
- prosesi yang ketiga Cemme Sala atau membersihkan arajang
- prosesi yang keempat adalah Mallekke wae atau mengambil air suci di salah satu sungai di Segeri
- prosesi ritual yang ke lima adalah Malleke Labulalle
- prosesi ritual selanjutnya adalah prosesi Maggiri
- prosesi selanjutnya adalah mengarak arajang keliling kampung, sebagai tanda bahwa petani telah diijinkan untuk menanami sawah mereka
- Selanjutnya adalah ritual Cemme Lompo atau memandikan Arajang secara keseluruhan
- Dan ritual terakhir adalah mappaenre arajang atau menidurkan kembali arajang selama setahun penuh
Semua prosesi ritual dilakukan selama 3 hari, semua prosesi memiliki fungsi dan makna yang berbeda, semua prosesi ritual Mappalili diyakini mampu mendatangkan keberkahan dan menjaga tanaman padi dari hal hal yang dapat menurunkan hasil produksi.
Makna Ritual Adat Mappalili
Secara etimologi Mappalili (Bugis) Appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang mengandung makna yang sama dengan menjauhkan hal-hal yang bakal mengganggu atau merusak tanaman padi. Makna harfianya adalah diperuntukkan terhadap lahan yang akan ditanami, disalipuri (Bugis) dilebbu (Makassar), artinya dilindungi dari gangguan yang bisa menurunkan hasil produksi dan mendekatkan hal-hal yang dapat meningkatkan hasil produksi.
Sebagaimana diketahui bahwa Mappalili (Bugis) Appalili (Makassar), atau Komando Turun sawah sudah menjadi bagian dari agenda kegiatan atau upacara rutin masyarakat dan pemerintah Kabupaten Pangkep. Dalam pelaksanaan prosesi Mappalili atau Appalili memiliki peraturan atau tatacara yang berbeda dengan kegiatan atau upacara adat lainnya, selain memiliki kekhasan tersendiri juga memiliki nilai luhur yang terkandung dalam setiap tahap pelaksanaannya.
Source:
Wikipedia
Khaedir, 2018. "Makna Ritual Mappalili Oleh Komunitas Bissu Bugis Di Pangkep". Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar