Suku Dayak Bahau meyakini,manusia tidak hanya memiliki raga melainkan juga memiliki roh ( belwaan). Maka roh orang mati harus dihantarkan menuju alam abadi yang dalam bahasa bahau disebut Telaang Julaan. Ritual menghantar arwahberlangsung dalam rangkaian upacara adat sejak hari pertama orang tersebut dinyatakan meninggal,yang ditandai dengan hembusan nafas terakhir yang dalam bahasa Bahau adalah Mutaat Hengaan.
Makna Perjalanan Arwah
Suku Dayak Bahau meyakini, manusia tidak hanya memiliki raga, melainkan juga memiliki roh (Belwaan). Maka roh orang mati harus dihantarkan menuju alam abadi yang Telaang Julaan.
Proses Ritual menghantar arwah berlangsung dalam rangkaian upacara adat sejak hari pertama seseorang meninggal yakni setelah roh manusia berpisah dari tubuh pada saat meninggal, Belwaan harus melakukan perjalanan ke tempat tujuan terakhir manusia, yaitu Telaang Julaan. Dalam perjalanannya, Belwaan harus didampingi Dayuung, seorang dari dunia hidup yang memiliki kemampuan magis untuk berkomunikasi dengan para penghuni dunia roh.
Maksud dan tujuan
Suku dayak Bahau percaya bahwa arwah orang yang meninggal itu berpindah pindah ke alam lain, yang merupakan negeri arwah .
Dalam perjalanan menuju negeri arwah ini harus:
- Dibersihkan
- Diajak makan bersama, sebagai perpisahan di samping membawa bekal.
- Roh orang yang meninggal ini harus bebas dari gangguan-gangguan hantu-hantu.
- Roh harus pergi dengan tanpa rindu akan kampung halaman, keluarga serta segala-gala yang ditinggalkan.
Roh orang yang meninggal ini harus dapat pindah dengan tenteram, aman ke dalam arwah, untuk itu upacara-upacara kematian itu mereka lakukan
Persiapan Ritual Adat Kematian Suku Dayak Bahau
Terdapat beberapa persiapan-persiapan sebelum upacara kematian pada suku Dayak Bahau dilakukan, diantaranya pengumuman kepada seluruh warga masyarakat melalui bunyi-bunyian alat musik, pemandian mayat, memakaikan pakaian adat bagi si mati, barang semasa hidup si mati harus diikut sertakan dalam peti, pemberian makanan diatas peti mati, menggunakan lungun atau peti mati, tali untuk gantung pakaian, membuat penghuat, pakaian bertabung bagi keluarga yang berwarna oranye, kayu berduri dan pendek, patung kecil, batang pisang, ayam dan babi.
Prosesi Ritual Adat Kematian Suku Dayak Bahau
Suku Dayak Bahau, sebagaimana kehidupan suku-suku bangsa lainnya di kepulauan Indonesia mengenal pula strata sosial. Ada golongan Raja, bangsawan , kepala Suku, di satu pihak sedangkan di pihak lain terdapat golongan rakyat biasa/orang awam.
Masyarakat Dayak Bahau memiliki strata sosial yang membedakan syarat kematian diantara masyarakat. Pada Suku Dayak Bahau terdapat beberapa golongan masyarakat diantaranya golongan Raja, Bangsawan, Kepala Suku, serta terdapat pula golongan rakyat biasa atau orang awam.
Menurut buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Timur (1984), Upacara kematian baik bagi kaum bangsawan maupun orang biasa sama pelaksanaannya yakni mengenal 5 tahap diantaranya Medu Pate atau upacara memandikan mayat, Berweq yaitu upacara memberi makan mayat, dan Pemaknaan, Mugaq Toq disebut upacara mengusir hantu-hantu. Hadui Taknaq yaitu upacara memandikan roh.
Medu Pate (Memandikan Mayat/Si Mati)
Pada upacara Medu Pate pemandian mayat dilakukan oleh Dayung (dukun adat). Setelah upacara
pemandian selesai mayat tetap berada didalam rumah dan dirawat layaknya orang yang masih hidup, hal ini dikarenakan masyarakat Dayak Bahau menganggap roh si mati masih berada didalam rumah. Adapun barang-barang yang harus diikut sertakan dalam peti mati adalah barang-barang yang si mati kenakan setiap harinya.
Barang-barang yang diikut sertakan kepada si mati menurut buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Timur (1984), diantaranya Mandau tampilan, guci, tilam, bantal, ranjang, kelambu, sumpitan dan tombak, Alat-alat dapur, Barang-barang yang dipakai ketika melaksanakan adat pernikahan diantarannya ayam, babi, bibit-bibit tanaman, bibit padi, parang, beliung, dan lain sebagainya. Barang-barang diatas merupakan persyaratan bagi laki-laki yang meninggal, apa bila perempuan maka barang-barang disesuaikan dengan keperluan perempuan.
Acara Makan Berwaq (Bersantap)
Suku Dayak Bahau beranggapan bahwa roh si mati masih tetap hidup diantara mereka sebelum diadakan acara perpisahaan. Oleh karena itu, biasanya masyarakat Bahau memberi makan bagi mayat Si mati.
Adapun tata cara bersantap menurut buku Upacara Tradisional (upacara kematian) Daerah Kalimantan Timur (1984), diantaranya mempersiapkan makanan. Makanan tersebut diletakkan dibagian kepala sebelah kiri si mayat, selalu ditutupi dengan tedung hiting Acara Pemakaman. Setelah ritual pemberian makan selesai serta keluarga telah mengikhlaskan si mati maka, upacara pemakaman dilakukan.
Acara Mugaaq Toq
Mugaaq Toq merupakan Acara mengusir hantu yang dilakukan pada malam hari ketika selesai upacara pemakaman. Acara ini harus dilakukan dalam keadaaan tenang, dan tidak ada orang yang beraktifitas diluar rumah. Setelah upacara selesai, masyarakat boleh menyalakan lampu. Hal ini tidak serta merta membawa roh si mati ke Apo Lagaan (surga bagi orang Dayak).
Acara Hadui Taknaq
Hadui Taknaq merupakan selamatan memindahkan roh si mati ke negeri arwah. Empat puluh hari setelah acara mengusir hantu barulah diadakan acara selamatan. Acara ini ditandai dengan mengumpulkan daun dan batang pisang, ayam, babi, dan menumbuk beras untuk persiapan selamatan. Acara ini dilakukan dalam lima hari yakni pengumpulan daun dan batang pisang untuk dibuat sebagai juk. Pada hari kedua Dayung mementera ayam dan babi. Hari ketiga rakyat menyiapkan babi dan ayam sebagai hewan korban, melaksanakan penyembelihan hewan serta kaum laki-laki yang lain mendirikan juk dan patung sesuai dengan letak yang semestinya, dan yang wanita sibuk menumbuk tepung dan membuat kue yang disebutnya “ataat”. Pada hari keempat Dayung melaksanakan Maraag Juk artinya bermemang. Pada hari kelima dayung mengundang roh si mati untuk diajak makan bersama.
Lambang Serta Makna Dalam Ritual Adat Kematian Suku Dayak Bahau
Terdapat lambang serta makna yang terkandung dalam upacara kematian Suku Dayak Bahau, diantaranya alat yang digunakan untuk memberikan pertanda bahwa seseorang masih tetap hidup dalam keadaan sekarat, gong sukan kayo digunakan untuk memberikan pertanda bahwa ada kematian didesa, pakaian pernikahan melambangkan bahwa yang meninggal telah berkeluarga, pakaian adat upacara dance melambangkan bahwa yang meninggal belum kawin, Barang-barang bawaan adalah keperluan si mati untuk digunakan di negeri roh, makanan yang dipersembahkan untuk si mati dimaksudkan agar si mati mau memaafkan kesalahan keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkan.
Terdapat ukiran pada lungun/ peti mati yang memiliki arti tersendiri pada setiap bentuk ukirannya, menurut buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Timur (1984), Parang yang disebut “Malaat Itang Liding” yang dimasukkan ke dalam lungun maksudnya untuk memotong dinding dan bubungan rumah kampong, manik-manik yang telah diikat dengan benang gunanya untuk menggantikan mahkota, ketika melalui lobang yang sangat gelap, “Bila” adalah rumah untuk si mati yang terbuat dari ulin dan sirap, penuh dengan ukiran anjing, macan dan naga, Batang pisang yang diatasnya dideretkan patung-patung sesuai dengan jumlah keluarga, maksudnya sebagai pengganti jiwa raga untuk mengantarkan roh si mati.
Source:
Lie, F dkk. (2020:). MAKNA SIMBOL RITUAL KEMATIAN PADA SUKU DAYAK BAHAU BUSANG DI KABUPATEN MAHAKAM ULU, 8(4), 26-36.