Tari Pakarena adalah tarian tradisional asli suku Makassar dari Sulawesi Selatan yang diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik).
Konon diceritakan bahwa tari Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum perpisahan,boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.Cerita lain menyebutkan bahwa tari Pakarena dihubungkan dengan legenda Tumanurung ri Tamalate sebagai Somba (raja) pertama kerajaan Gowa. Dikisahkan bahwa Pakarena pertama kali muncul bersamaan dengan Putri Tumanurung ri Tamalate. Menurut kisah, Pakarena merupakan pengiring dan pelengkap kebesaran Tumanurung ri Tamalate.
Sejarah dan Perkembangan Tari Pakarena
Tari Pakarena merupakan salah satu tarian tradisional dari daerah Sulawesi Selatan. Menurut sejarah kerajaan Gowa, tarian Pakarena ini mulai berkembang pada masa Sultan Hasanuddin yang merupakan Raja Gowa ke XVI, karena ibunda beliau yang bernama I Limatakontu yang langsung menanganinya. Setelah itu, tarian ini dilanjutkan oleh I Badde Daeng Tommi, permaisuri pertama I Malombassi Daeng Mattawang dan I Petta Nisali, permaisuri kedua sehingga tari Pakarena terpelihara dan dibina oleh keluarga raja-raja.
Sejak ajaran agama Islam masuk di tengah-tengah masyarakat Makassar, maka terjadi peralihan dari kepercayaan lama yaitu animisme dan dinamisme kepada ajaran agama Islam yang tegas tentang keesaan Tuhan, hal ini membawa langkah besar ke arah perubahan kerohanian.
Sementara tari Pakarena merupakan nama baru dari sebuah ritual yang bernama Sere Jaga. Sere Jaga berubah nama dan fungsi sebagai sarana dalam upacara ritual suku Makassar menjadi Pakarena. Pakarena berfungsi sebagai pelengkap dalam upacara penobatan raja, upacara accera kalompoang atau membersihkan pusaka kerajaan, serta dalam upacara daur hidup raja dan keluarganya. Sere Jaga yang berarti waspada atau sadar atau tidak tidur semalam suntuk, berubah istilah Pakarena atau akkarena yang berarti bermain atau pemain. Perubahan nama tersebut dilakukan sebab kata Sere Jaga dianggap keramat untuk disebutkan pada sembarang waktu dan tempat. Kata tersebut selalu dikonotasikan dengan ritus lama orang Makassar yang antara lain upacara Appanai dan Appanaung.
Pada tahun 1951, sekelompok peminat seni budaya yang tergabung dalam kelompok bernama “Organisasi Seni Budaya Mangkasara” (OSBM) di bawah pimpinan Fachruddin Daeng Romo bersama M. Mappselleng Daeng Maggau, Andi Siti Nurhani Sapada, dan Abdul Majid Daeng Siala, mereka berusaha mengungkapkan kembali tari Pakarena yang pernah eksis pada masa kerajaan Gowa beberapa abad yang lalu. Usaha ini mempunyai tujuan utama yaitu:
- Mengungkapkan dan mempelajari kembali tarian tersebut secara teratur untuk dilestarikan dengan jalan mengajarkannya kepada pelajar-pelajar di kota Makassar.
- Ingin meningkatkan tarian itu sesuai dengan selera masyarakat Sulawesi Selatan pada waktu itu.
Dalam usaha melanjutkan dan melestarikan tari Pakarena ini, maka tidak ada jalan lain kecuali mengadakan perubahan struktur dan fungsi dalam hal susunan gerak tari agar dapat dipelajari dengan mudah. Perubahan-perubahan tersebut tidak boleh meninggalkan ciri khasnya. Perubahan tersebut tidak berlangsung secara radikal, tapi mengalami proses yang agak lama. Prosesnya sebagai berikut:
- Gerakan yang awalnya hanya dikendalikan oleh penari terdepan atau Pauluang, kini digerakkan mengikuti empat arah mata angin atau searah dengan arah pergerakan jarum jam.
- Lagu atau Nyanyian ataupun dalam bahasa daerahnya Royong yang sulit dilakukan kemudian diganti dengan sebuah lagu Makassar yang berjudul Bunganna Ilang Kebo, disusun oleh M. Mappaselleng Dg Maggau.
- Pukulan gendangnya diatur kembali agar sesuai dengan gerakan penari.
- Bahkan kostum yang digunakan yakni baju bodo dan lipa sa’bbe mengalami perubahan.
Adapun lirik dari lagu yang mengiringi Tari Pakarena ini yakni:
Takunjunga bangung turu’ galle’
Nakuginciri’ naung gulingku
Kualleanna Tallanga natoalia
Dongang-dongang la bella karaeng
Dongangla dongang dongang la nia te’ne
Na te’ne nala lo apamigau’
Tutuki ma’lepa-lepa galle
Ma’ biseang rate bonto
Tallangki sallang Kinasakko alimbu’bu
Dongang-dongang la bella Karaeng
Dongangla dongang dongala nia te’ne
Na te’ne nala lo apamigau.
Artinya:
Tak begitu saja aku mengikuti angin
Dan kuputar kemudiku
Lebih baik aku memilih
Tenggelam daripada surut kembali
Bila layarku telah berkembang
Temaliku telah kurentang
Aku tak berharap
Kembali dari tengah lautan
Makna kandungan dari syair Dongang-dongang tersebut ialah merupakan petuah atau nasehat dari orang tua kepada anaknya. Seorang laki sepatutnya memiliki keberanian yakni berani melakukan suatu hal yang diamanahkan kepadanya. Segala resikonya harus dihadapi, harus memiliki nyali pantang mundur sebelum pekerjaan tersebut tuntas atau menampakkan hasil.
Hendaknya nasehat yang ada di balik kandungan dari syair tersebut diaplikasikan ke dalam seluruh kehidupan ini. Jika sudah melangkah untuk melakukan sesuatu, maka pantang surut ke belakang, artinya bahwa apa pun yang kita kerjakan jika sudah diputuskan untuk dilakukan, maka tak boleh menyerah pada tengah perjalanan, harus diikuti dengan usaha dan doa yang maksimal agar memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan.
Demikian bentuk tari Pakarena yang sampai sekarang ini kita kenal yaitu merupakan penataan dan pengembangan dari Organisasi Seni Budaya Makassar yang ditata oleh Hj. Andi Siti Nurhani Sapada. Beliau merupakan pendiri Institut Kesenian Sulawesi Selatan dan tokoh perintis tari-tarian, khususnya di daerah Sulawesi Selatan. 50 tahun perjalanan hidupnya ia curahkan dalam bidang kesenian yang menghasilkan gagasan dan pemikiran yang dapat dijadikan suri tauladan dan panutan bagi generasi muda khususnya di Sulawesi Selatan.
Alat Musik dalam Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo
Pada pertunjukan tari, musik merupakan salah satu pendukung yang tidak bisa dipisahkan dengan tari, meskipan sebagian orang menganggap musik hanya sebagai pengiring tarian, namun sesungguhnya musik memiliki fungsi yang lebih penting daripada hanya sekedar sebagai pelengkap pertunjukan tari.
Menurut jenisnya musik iringan tari terdiri dari 2 bagian yaitu:
Jenis musik internal
Adalah musik yang berasal langsung dari dalam atau dari tubuh penari itu sendiri, misalnya tepukan dada, petikan jari tangan, hentakan kaki dilantai dan sebagainya.
Jenis musik eksternal
Adalah musik yang berasal dari luar tubuh penari. Misalnya gendang, kecapi,, suling, gong, dan sebagainya.
Alat musik pengiring tari Pakarena adalah Ganrang, Puik-Puik, Gong gentung, Katto-katto, dan Parappasa. Alat musik yang digunakan dalam tari Pakarena tidak memiliki makna khusus kecuali hanya sabagai pelengkap pertunjukan tari. Berikut adalah penjelasannya:
1. Ganrang
Ganrang artinya Gendang. Ganrang merupakan alat musik yang sudah umum dijumpai sebab hampir semua suku di Indonesia mempunyai alat musik ini. Ganrang menggunakan kulit sebagai sumber bunyi atau selaput tipis yang direntangkan. Ganrang biasanya terbuat dari kayu nangka dan kayu cempaka. Fungsi gendang sebagai pengatur cepat lambatnya suatu tempo dalam sebuah iringan tari.
2. Puik-Puik
Puik-puik merupakan alat musik yang terbuat dari logam, kayu, dan daun lontar. Bentuknya bulat panjang dan termasuk alat musik tiup jenis klarinet tradisional Makassar. Badannya terbuat dari kayu yang dilubangi dan pada bagian ujung diberi cerobong untuk menyatukan suara, lalu pada ujung lainnya terdapat pipet yang terbuat dari daun lontara, batang bulu bebek, logam, dan benang.
3. Gong Gentung
Gong Gentung artinya Gong yang digantung. Istilah Gentung atau gantung yang ada di belakang kata “Gong” digunakan untuk membedakannya dengan Gong Patti yaitu Gong yang ditempatkan dalam kotak atau peti.
Bahan pembuatannya adalah kuningan. Ukuran Gong Gentung bervariasi. Bentuknya bundar dan terdapat tonjolan ditengahnya sebagai tempat untuk memukulnya. Tempat menggantung gong ini terbuat dari kayu atau bambu.
4. Katto-Katto
Katto-katto terbuat dari bambu yang ukuran panjangnya sekitar 50 cm, dan bagian atasnya diberi tempat untuk menggantungkan atau memegangnya. Cara memainkannya yaitu dengan memukulnya menggunakan sebuah alat pemukul dari potongan kayu.
5. Paraappasa
Parappasa terbuat dari bambu yang dibelah kecil hingga menyerupai sapu lidi. Ukuran bambu yang digunakan sekitar 57 cm, dengan panjang dari ruas ke pangkal sebagai alat pemegang berjarak 12 cm, sementara bagian yang diraut sekitar 45 cm. Parappasa dibuat berpasangan dengan ukuran yang sama. Cara memainkannya yaitu parappasa yang satu dengan parappasa yang lainnya saling dipukulkan.
![]() |
Pemusik Tari Pakkarena |
Kostum dan Properti Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo
Kostum yang digunakan penari untuk menampilkan tarian merupakan salah satu unsur yang mendukung timbulnya nilai keindahan pada sebuah tarian. Sama seperti alat musik yang digunakan dalam tarian ini, kostum yang digunakan di tari Pakarena juga tidak memiliki makna khusus, kecuali hanya sebagai penutup badan sang penari dan sebagai pelengkap pertunjukan tari agar semakin indah ketika ditampilkan. Ada beberapa jenis kostum maupun aksesoris yang digunakan dalam tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo, yakni:
1. Baju Bodo
Bentuknya segi empat. Sisi samping dijahit kecuali bagian atas digunakan untuk memasukkan lengan tangan, bagian atas tangan dilubangi untuk memasukkan kepala. Baju bodo terbuat dari benang sutra yang ditenun secara khusus dan spesifik bentuknya yang memiliki panjang 72 cm dan lebar 67 cm. Baju bodo pada zaman kerajaan memiliki kain yang tipis dan transparan. Namun, pada zaman ini, terlebih lagi ketika ajaran Islam sudah masuk di Sulawesi Selatan, baju bodo kemudian mengalami perubahan pada bahan kainnya. Kain yang digunakan untuk membuat baju bodo saat ini lebih tebal dan tidak menerawang. Pemilihan warna baju bodo yang dipakai dalam tari Pakarena boleh sembarang warna, asalkan bukan warna hitam dan putih. Namun biasanya yang digunakan adalah warna merah dan hijau.
2. Lipa’ sa’be
Berupa sarung tenun bermotif kotak-kotak. Terkadang dihiasi dengan benang yang berwarna emas.
3. Bando
Bando adalah hiasan penjepit rambut yang ragam hiasnya berbentuk daun kembang. Adapun bahannya terbuat dari kuningan/logam yang diletakkan pada pertengahan kepala penari.
4. Bangkara
Bangkara artinya anting. Jenis anting yang terbuat dari kuningan yang berbentuk persegi panjang atau segitiga, terdapat permata atau manik-manik di bagian tengahnya, lalu memiliki juntaian ke bawah..
5. Ponto Karro-karro
Ponto artinya gelang, sedangkan Karro-karro artinya panjang. Jadi Ponto Karro-karro adalah gelang panjang yang terbuat dari kuningan atau logam yang melilit pada pergelangan tangan penari.
6. Pinang Goyang
Pinang Goyang berupa tusuk konde jumlahnya beberapa buah. Dinamakan Pinang Goyang karena hiasan ini menyerupai kembang yang bergoyang-goyang sebab tangkainya dapat mengeper.
7. Rante Susung
Rante Susung artinya kalung yang tersusun digunakan penari. Terbuat dari logam atau kuningan dengan bentuk menyerupai bunga yang dikenakan tepat pada leher hingga dada penari.
8. Simak
Bahan yang digunakan terdiri dari kain polos beludru yang dihiasi dengan beberapa payet dan manik-manik. Simak berfungsi sebagai pengikat lengan baju bodo agar lebih rapi dalam penampilan.
9. Bunga Simboleng
Bunga Simboleng artinya bunga sanggul. Bunga ini merupakan perhiasan yang digunakan oleh penari dan diletakkan tepat pada sisi kiri dan kanan sanggul.
10. Selendang
Selendang digunakan atau dikalungkan pada leher penari sebagai bagian dari busana dan properti.
11. Kipas
Kipas yang digunakan penari Pakarena dulunya terbuat dari bambu dan daun lontara. Kini digantikan dengan kipas yang terbuat dari bambu dan kain.
![]() |
Uhuii 🙄 |
Bentuk Koreografi Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo
Ada enam macam ragam gerak dalam koreografi Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo. Keenam ragam gerak tersebut yakni:
a. Mabbiring kassi (berjalan di tepi pantai)
Gerakan ini merupakan ragam awal gerakan tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo. Ragam gerak ini dilakukan dengan hitungan 2x8 sebelum memasuki ragam gerak selanjutnya. Dalam ragam gerak ini, kipas dipegang dengan tangan kanan secara tegak lurus dan posisinya tepat di depan dada. Sementara tangan kiri memegang sarung dengan cara jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri menjepit sarung di sebelah kiri. Ragam gerak tersebut dilakukan sambil berjalan dengan pelan ke depan panggung. Posisi selendang berada di pundak kiri penari.
b. Sitaklei (berpindah tempat)
Gerakan ini dilakukan dengan hitungan 2x6 ditambah dengan 1x4 gerakan kunci diakhir gerakan sebelum berpindah ke ragam gerak ketiga.
- Hitungan 1= tangan kiri diayunkan ke depan, lalu jari jempol tangan kiri menyentuh pusar.
- Hitungan 2= tangan kanan mengayunkan kipas ke kanan lalu ke depan perut.
- Hitungan 3= tangan kanan dan tangan kiri melakukan gerakan membuka yaitu tangan kanan diayunkan ke sisi kanan dan tangan kiri diayunkan ke sisi kiri.
- Hitungan 4= penari membalikkan badan ke arah kiri disertai dengan jempol jari tangan kiri diletakkan di pusar kembali dan tangan kanan lurus di depan dada sambil memegang kipas dengan posisi tegak lurus.
- Hitungan 5= tangan kanan mengayunkan kipas ke arah kanan dengan posisi kipas mendatar
- Hitungan 6= kipas diputar dan diayunkan kembali ke depan perut.
Gerakan kunci:
- Hitungan 1= tangan kanan dan kiri dibuka ke samping
- Hitungan 2= lalu tangan kanan dan kiri melakukan akkaleo (gerakan memutar jari) di samping pinggang.
- Hitungan 3= kemudian tangan kanan dan kiri diarahkan ke depan dada
- Hitungan 4= tangan kiri melakukan akkaleo di atas kipas yang dipegang tangan kanan dengan posisi tegak lurus.
c. Sonnayya (bermimpi)
Gerakan ini dilakukan dengan hitungan 3x4 ditambah dengan 1x4 gerakan kunci diakhir gerakan sebelum berpindah ke ragam gerak keempat.
- Hitungan 1= Melakukan gerakan membuka seperti dalam ragam gerak Sitaklei, tetapi tangan kiri memegang ujung selendang
- Hitungan 2= lalu disilangkanlah tangan kanan dengan tangan kiri di depan penari dengan posisi tangan kanan yang memegang kipas secara mendatar di atas dan tangan kiri yang memegang ujung selendang di bawah.
- Hitungan 3= Tangan kanan diayunkan ke atas di depan dada sambil memegang kipas dengan posisi tegak lurus tapi ujung kipas berada di bawah, sementara tangan kiri berada di samping pinggang kiri
- Hitungan 4= Setelah itu tangan kanan dan kiri digerakkan ke depan dada.
d. Accarammeng adalah bercermin atau melihat diri ke dalam cermin.
Gerakan ini dilakukan sebanyak 4x8 dengan hitungan:
- Hitungan 1= gerakan tangan kanan diayunkan ke sisi kanan penari dengan posisi kipas dipegang tegak lurus.
- Hitungan 2= sementara tangan kiri digerakkan ke sisi kiri.
- Hitungan 3= lalu tangan kiri diayunkan ke atas tepat di samping telinga kiri kemudian melakukan akkaleo.
- Hitungan 4= Setelah itu tangan kanan memutar kipas.
- Hitungan 5= lalu kipas ditutup dengan cara menghentakkannya di paha kanan.
- Hitungan 6= Lalu kipas yang tertutup tersebut diayunkan oleh tangan kanan ke arah sisi kanan penari.
- Hitungan 7= kemudian tangan kanan dan kiri bersamaan diayunkan ke sisi kiri penari, kemudian ke kanan lagi.
- Hitungan 8= Lalu kipas diputar dan dibuka kembali tepat di samping kanan kepala sambil tangan kiri memegang sarung dengan cara seperti pada ragam gerak pertama.
Kemudian dilanjutkan dengan 2x6 hitungan gerakan di bawah ini:
- Hitungan 1= tangan kanan dan kiri dibuka ke samping
- Hitungan 2= lalu tangan kanan dan kiri melakukan akkaleo (gerakan memutar jari) di samping pinggang.
- Hitungan 3= kemudian tangan kanan dan kiri diarahkan ke depan dada
- Hitungan 4= tangan kiri melakukan akkaleo di atas kipas yang dipegang tangan kanan dengan posisi tegak lurus.
- Hitungan 5= tangan kanan mengayunkan kipas ke arah kanan dengan posisi kipas mendatar dan jempol kiri berada di pusar.
- Hitungan 6= kipas diputar dan diayunkan kembali ke depan perut.
Kemudian dilanjutkan dengan 1x7 hitungan gerakan di bawah ini:
- Hitungan 1= tangan kiri digerakkan ke bawah di samping pinggang kiri.
- Hitungan 2= lalu tangan kiri diayunkan ke atas tepat di samping telinga kiri kemudian melakukan akkaleo.
- Hitungan 3= lalu tangan kanan menaruh kipas tepat di depan dada.
- Hitungan 4= kemudian tangan kanan mengayunkan kipas ke sisi kanan dengan posisi kipas tegak lurus.
- Hitungan 5= lalu tangan kiri diayunkan ke atas tepat di samping telinga kiri kemudian melakukan akkaleo.
- Hitungan 6= Setelah itu tangan kanan memutar kipas.
- Hitungan 7= lalu kipas ditutup dengan cara menghentakkannya di paha kanan.
Kemudian dilanjutkan lagi dengan 3x7 hitungan gerakan di bawah ini:
- Hitungan 1= kipas yang tertutup tersebut diayunkan oleh tangan kanan bersama tangan kiri ke arah depan penari.
- Hitungan 2= Lalu kipas diputar dan dibuka kembali tepat di samping kanan kepala sambil tangan kiri memegang sarung dengan cara seperti pada ragam gerak pertama.
- Hitungan 3= gerakan tangan kanan diayunkan ke sisi kanan penari dengan posisi kipas dipegang tegak lurus.
- Hitungan 4= sementara tangan kiri digerakkan ke sisi kiri.
- Hitungan 5= lalu tangan kiri diayunkan ke atas tepat di samping telinga kiri kemudian melakukan akkaleo.
- Hitungan 6= Setelah itu tangan kanan memutar kipas.
- Hitungan 7= lalu kipas ditutup dengan cara menghentakkannya di paha kanan.
Kemudian sebelum melakukan ragam gerak selanjutnya, penari melakukan gerakan di bawah ini dengan hitungan 1x4.
- Hitungan 1= tangan kanan mengayunkan kipas ke kanan dengan posisi kipas tegak lurus, sementara tangan kiri memegang sarung.
- Hitungan 2= lalu kembali diayunkan ke depan dada dengan posisi ujung kipas di bawah.
- Hitungan 3= lalu diayunkan kembali ke samping kanan.
- Hitungan 4= kemudian tangan kiri melakukan akkaleo di dekat telinga kiri, kemudian kipas diletakkan kembali di depan dada.
e. Anging kamalino (angin tanpa berhembus)
Gerakan ini dilakukan dengan hitungan 4x8 ditambah dengan 1x3 sebagai gerakan penutup sebelum melakukan ragam gerak terakhir.
- Hitungan 1= tangan kiri mengambil selendang yang ada di pundak kiri
- Hitungan 2= lalu meletakkannya di tangan kanan sambil perlahan-lahan menutup kipas.
- Hitungan 3= Tangan kanan dan tangan kiri bersamaan memegang kipas dan selendang yang menjuntai ke bawah kemudian diarahkan ke depan sambil berjalan ke depan.
- Hitungan 4= lalu hanya tangan kanan memegang selendang dan kipas dan diarahkan ke sisi kanan sambil berjalan samping kanan, sementara tangan kiri memegang sarung.
- Hitungan 5= lalu berjalan ke samping kiri, tangan kanan diletakkan di bahu kanan. Hitungan 6= Setelah itu, selendang kembali diletakkan di pundak kiri
- Hitungan 7= lalu kipas dibuka tepat di samping kanan kepala
- Hitungan 8= lalu diletakkan di depan dada sambil tangan kiri memegang sarung.
f. Renjang-renjang
Ragam gerak ini merupakan ragam terakhir dari tari Pakarena. Renjang- renjang adalah merupakan gerak berjalan dengan menghadap ke kanan dan ke kiri secara bergantian pada saat akan keluar dari panggung. Ini adalah gerakan permohonan pamit atau juga gerakan terakhir dalam pertunjukan tari Pakarena.
Selain keenam ragam gerak tersebut, ada hal lain yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam menampilkan tari Pakarena yaitu pandangan sang penari harus ditundukkan sekitar 30 derajat. Hal ini erat kaitannya dengan sikap wanita yang harus senantiasa menundukkan pandangannya.
Interpretasi Makna dari Ragam Gerak Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo
Mabbiring kassi (berjalan di tepi pantai)
a. Penanda:
Berjalan ke depan panggung dengan perlahan, kipas dipegang dengan tangan kanan secara tegak lurus dan posisinya tepat di depan dada. Sementara tangan kiri memegang sarung dengan cara jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri menjepit sarung di sebelah kiri. Posisi selendang berada di pundak kiri penari.
b. Petanda:
Mabbiring kassi artinya singgah di tepi pantai. Mengandung makna bahwa berhati-hatilah dalam membawa diri atau dalam bergaul, jangan sampai terpengaruh oleh pergaulan yang dapat menjerumuskan. Ini merupakan peringatan dari orang tua terhadap anaknya tentang sikap atau perilaku agar hidup anaknya selamat.
Sitaklei
a. Penanda:
Tangan kiri diayunkan ke depan, lalu jari jempol tangan kiri menyentuh pusar. Sementara tangan kanan mengayunkan kipas ke kanan lalu ke depan perut. Setelah itu, tangan kanan dan tangan kiri melakukan gerakan membuka yaitu tangan kanan diayunkan ke sisi kanan dan tangan kiri diayunkan ke sisi kiri. Lalu, penari membalikkan badan ke arah kiri disertai dengan jempol jari tangan kiri diletakkan di pusar kembali sambil tangan kanan mengayunkan kipas ke arah kanan dengan posisi kipas mendatar lalu kipas diputar dan diayunkan kembali ke depan perut.
b. Petanda:
Dalam ragam gerak Sitaklei ini, para penari bertukar tempat. Hal ini bermakna sebagai wujud kekeluargaan. Apabila ada suatu pekerjaan yang memerlukan bantuan banyak orang atau bergotong royong, kita semestinya bahu membahu, saling membantu untuk menyelesaikan pekerjaan bersama, baik dalam pekerjaan yang membawa kesenangan seperti pesta, maupun dalam keadaan berduka.
Sonnayya
a. Penanda:
Melakukan gerakan membuka seperti dalam ragam gerak Sitaklei, tetapi tangan kiri memegang ujung selendang lalu disilangkanlah tangan kanan dengan tangan kiri di depan penari dengan posisi tangan kanan yang memegang kipas di atas dan tangan kiri yang memegang ujung selendang di bawah. Setelah itu tangan kanan dan kiri digerakkan ke depan dada.
b. Petanda:
Sonnayya berarti bermimpi atau berkhayal. Ragam gerak ini mengandung makna bahwa tak perlu lakukan hal yang tidak penting seperti suka bermimpi atau berkhayal. Agar orang tidak hanya tinggal bermalas-malasan, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Lebih baik bangun untuk berusaha daripada hanya mengharapkan sesuatu yang tidak pasti dengan bermimpi atau berkhayal.
Accarammeng adalah bercermin atau melihat diri ke dalam cermin
a. Penanda:
Gerakan tangan kanan diayunkan ke sisi kanan penari dengan posisi kipas dipegang tegak lurus. Sementara tangan kiri digerakkan ke sisi kiri lalu ke atas tepat di samping telinga kiri lalu diputar. Setelah itu tangan kanan memutar kipas lalu ditutup dengan cara menghentakkannya di paha kanan. Lalu kipas yang tertutup tersebut diayunkan oleh tangan kanan bersamaan dengan tangan kiri ke sisi kanan penari, kemudian diayunkan ke arah kiri lalu kembali ke arah kanan lagi. Lalu kipas diputar dan dibuka kembali tepat di samping kanan kepala sambil tangan kiri memegang sarung dengan cara seperti pada ragam gerak pertama. Lalu penari melakukan gerakan selanjutnya. Posisi penari disini ada yang berdiri dan ada pula yang duduk. Tangan kanan dan kiri melakukan gerakan membuka, lalu jari-jari diputar kemudian kedua tangan digerakkan ke depan dada. Posisi kipas terbuka dan tegak lurus, kemudian jari kiri diputar di atas kipas. Setelah itu, jempol kiri diletakkan di pusar, sementara tangan kanan mengayunkan kipas ke arah sisi kanan dengan posisi kipas mendatar lalu dikembalikan lagi ke depan dada.
b. Petanda:
Accarammeng adalah bercermin atau melihat diri ke dalam cermin. Maksud dari ragam gerak ini adalah agar orang memperhatikan diri terlebih dahulu sebelum memperhatikan orang lain, baik atau buruknya. Maksudnya setiap orang hendaklah instrokpeksi dan mawas diri, melihat kekurangan yang ada pada diri sendiri supaya jangan mengorek kekurangan dan kesalahan orang lain.
Anging kamalino (angin tanpa berhembus)
a. Penanda:
Tangan kiri mengambil selendang yang ada di pundak kiri lalu meletakkannya di tangan kanan dengan kipas yang posisinya tertutup. Tangan kanan dan kiri memegang kipas dan selendang yang menjuntai ke bawah diarahkan ke depan sambil berjalan ke depan. Kemudian tangan kiri akkingking lipa’ (memegang sarung) sementara tangan kanan memegang kipas dan selendang diarahkan ke depan badan sambil berjalan ke arah kiri, lalu berjalan ke arah kanan tapi tangan kanan di letakkan di bahu kanan. Setelah itu tangan kanan dan kiri sama-sama memegang kipas dan selendang dan diarahkan ke depan kemudian selendang kembali diletakkan di pundak kiri lalu kipas dibuka tepat di samping kanan kepala lalu di letakkan di depan dada sambil tangan kiri memegang sarung.
b. Petanda:
Anging kamalino atau biasa dikatakan memiliki hubungan dengan konsep sulapa appa atau empat falsafah kehidupan. Hal ini berkaitan dengan konsep Sulapa Appa yakni pamahaman kekuatan Sumanga atau sukma yang melukiskan sifat manusia sebagai sifat air, api, angin, dan tanah.
Sifat air yang mengalir ditunjukkan oleh gerakan menutup kipas dengan perlahan-lahan. Sifat air ini juga menunjukkan bahwa manusia memiliki tempat darimana ia berasal dan juga memiliki tempat yang akan ia tuju layaknya air yang mengalir dari hilir ke hulu. Sifat air juga menunjukkan sikap tenang yang ada pada diri manusia.
Sifat api yang bergelora ditunjukan oleh gerakan ketika sang penari memegang selendang dan kipas di tangan kanan kemudian tubuhnya melakukan gerakan turun tapi tidak sampai menyentuh lantai lalu dengan segera naik kembali ke posisi semula. Sifat api ini menunjukkan bahwa manusia juga memiliki emosi atau perasaan yang naik turun atau labil. Jika sifat api dalam diri manusia tidak diiringi dengan sifat air, maka bisa saja ada kekurangan atau kerugian yang ditimbulkan dan memengaruhi sifat manusia itu misalnya menjadi pemarah.
Sifat angin yang berhembus kemana saja ditunjukkan oleh gerakan ketika penari memegang selendang dan kipas lalu berjalan ke kiri dan ke kanan. Angin membawa kesejukan dan kadang pula membawa bencana. Begitupun dengan manusia yang sebenarnya bisa dengan bebas melangkah kemana saja akan tetapi jika melangkah ke arah yang benar, maka kebaikan akan datang pada dirinya. Begitu pula jika melangkah ke arah salah, maka yang datang kepadanya adalah keburukan.
Sifat tanah, ditunjukkan oleh gerakan penari ketika kembali ke posisi duduk dan meletakkan kembali selendang di bahu. Manusia pada awalnya diciptakan dari tanah dan di dalam tubuhnya memiliki unsur-unsur tanah. Namun ketika masanya telah tiba, manusia akan kembali lagi ke tanah.
Ragam renjang-renjang
a. Penanda:
Ragam gerak ini merupakan ragam terakhir dari tari Pakarena. Renjang- renjang adalah merupakan gerak berjalan dengan menghadap ke kanan dan ke kiri secara bergantian pada saat akan keluar dari panggung. Ini adalah gerakan permohonan pamit atau juga gerakan terakhir dalam pertunjukan tari Pakarena
b. Petanda:
Ragam renjang-renjang merupakan ragam penutup dari tari Pakarena. Renjang-renjang merupakan gerakan berjalan secara perlahan sambil menghadap ke arah kanan dan ke kiri secara bergantian. Gerak tersebut adalah merupakan permohonan pamit. Segala sesuatu dimulai dengan niat yang baik begitu pula diakhiri dengan sesuatu yang menyenangkan.
****
Source:
Wikipedia
ANGGI ANGGRAINI, 2019. "MAKNA FILOSOFIS TARI PAKARENA TRADISI GOWA TALLODI KEL. TOMBOLO KEC. SOMBA OPU KAB. GOWA". Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar