Kata ruwat dalam bahasa Jawa Kuno artinya salah; rusak. Rinuwat = dirusak, dilepaskan. Ruwat diartikan juga= dibuat tidak berdaya (Kejahatan, kutuk, pengaruh jahat). Ngruwat = membebaskan dari roh jahat. Kata dalam bahasa Jawa Kuno yang artinya sama adalah lukat = dihapuskan, dibatalkan, disucikan. Dari arti kata tersebut jelas bahwa arah pokok ruwatan ialah membebaskan manusia dari kutukan, roh jahat, dan dari pengaruh roh-roh yang membawa malapetaka.
Berbagai bentuk ruwatan menurut perkembangannya
Di masa lalu banyak cerita dalam sastra Jawa Kuno yang menceritakan para dewa atau para manusia yang kena kutukan berubah menjadi raksasa atau binatang buas, dibebaskan oleh ksatria atau dewa dari kutukan itu dan kembali kepada keadaan semula. Maka pada dasarnya ruwatan ialah upacara pembebasan dari yang jahat. Karena itu dalam perkembangannya ada berbagai bentuk ruwatan.
- Ruwat rasul yang berwujud selamatan biasa, mohon keselamatan bagi seseorang yang dilakukan para agamawan (Islam). Sifatnya religius.
- Ruwatan dengan pertunjukan wayang beber mengambil cerita Jaka Kembang Kuning. Cerita ini juga biasa dipentaskan dalam wayang gedok. Ruwatan bentuk ini jarang dilakukan karena kurang artistik.
- Ruwatan dengan pertunjukan wayang kulit dengan cerita Dalang Kanda Buwana atau Dalang Karungrungan. Dalam cerita itu muncul tokoh Batara Kala. Ruwatan ini populer dan sakral di kalangan orang Jawa.
- Ruwatan massal ialah bentuk ruwatan bersama-sama dari sekian banyak sukerta. Ruwatan massal seringkali telah berbau komersial. Ada panitia khusus yang mengurusi dari awal sampai akhir. Segi praktisnya biaya menjadi hemat karena ditanggung oleh banyaknya para sukerta yang ikut. Tidak jelas apakah dalam ruwatan ini upacara dengan cerita Murwakala juga diikuti secara ketat.
- Ruwatan Agung ialah ruwatan yang dilakukan secara seremonial diikuti kelompok dalam jumlah besar. Seorang dukun atau paranor- mal menyelenggarakan ruwatan ini ketika kondisi bangsa semakin terpuruk. Ada lagi ruwatan Agung untuk penyembuhan penyakit. Tidak jelas juga apakah Wayang Murwakala dan para sukerta masih menjadi pusat upacara.
- Dewasa ini ada upacara iringan sesajian sebagai tanda syukur atas hasil panen dan keselamatan desa, serta mohon perlindungan yang mahakuasa. Upacara ini juga disebut ruwatan. Upacara wayang Murwakala dan para sukerta tidak terungkapkan.
- Akhir-akhir ini dari kelompok-kelompok agama (Islam, Kristen, Katolik) yang mengadakan upacara ruwatan dengan maksud untuk mencapai ketentraman batin dan hilangnya peristiwa yang menggelisahkan hati. Kadang-kadang disertai pertunjukan wayang Murwakala, tetapi unsur orang sukerto sudah kabur, berbeda dengan ungkapan dari pola pakem. Upacara ini sekedar untuk ketenangan batin.
Ruwatan dahulu kala
Dalam sastra Jawa, yang cerita-ceritanya terukir dalam relief candi- candi di Jawa, ruwatan diartikan: Pembebasan dari pengaruh kutukan.
Beberapa contoh
- Dalam Kakawin Parbhigama, Parta hendak pergi bertapa. Ketika tiba di sungai Savabadra, dia diserang seekor buaya besar. Buaya itu berhasil dikalahkannya dan berubah menjadi bidadari Purpamesi. Dia dikutuk oleh Wiku yang sedang bersemedi dan terganggu oleh Purpamesi. Empat bidadari lainnya juga berhasil dikembalikan pada asal mulanya.
- Dalam Kakawin Kresnandaka, Kresna dan Baladewa hendak ke Negara Madura. Ketika akan menyeberangi sungai Serayu, mereka diserang buaya. Buaya dikalahkan oleh mereka dan berubah menjadi seorang dewa bernama Puspakiskenda. Dia kena kutuk Wipra Patnika yang merasa terganggu. Sebagai balas jasa, Kresna dan Baladewa diberi senjata Cakra Sudarsana.
- Dalam Kidang Sudamala diceritakan bahwa Sadewa meruwat Batari Durga dan dua raksasa bernama Kalantaka dan Kalanjana. Betari Durga ialah bidadari Uma, istri Batara Guru. Karena dia berbuat serong dengan Hyang Brahma, dia dikutuk menjadi raksasi disusul oleh bidadari Citragada dan Citrasena menjadi raksasa Kalantaka dan Kalanjana. Sadewa berhasil meruwat mereka dan berhasil mengembalikannya ke keadaan semula. Sebagai hadiah, Sadewa dan Nakula saudaranya disuruh ke Tamba Putra yang mempunyai dua anak cantik bernama Soka dan Pala. Sadewa menyembuhkan sakit mata Tamba Putra dan kedua putri tersebut masing-masing diperistri oleh Sadewa dan Nakula.
- Dalam cerita Nawaruci atau Bimakumara, Bima dikisahkan melawan dan membunuh raksasa Rukmaka dan Rukmakala. Mereka adalah dewa Batara Indra dan Batara Bayu. Mereka menjadi raksasa karena dikutuk Hyang Pramesti yang sedang marah. Kedua raksasa itu membalas jasa baik Bima dan memberitahu bahwa air suci yang dicari Bima tidak ada di gunung Candramuka itu.
Ruwatan gaya Jawa Murwakala berkisar pada tokoh Batara Kala yang diberi jatah manusia-manusia tertentu yang disebut sukerta. Siapakah Batara Kala? Cerita yang lazim dituturkan adalah sebagai berikut:
Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma, bercengkerama naik lembu Andini melayang di atas pulau-pulau dan samudra. Saat di atas samudara, muncul rangsangan birahi pada Batara Guru dan ia mengajak Dewi Uma untuk bersanggama. Dewi Uma menolak ajakan itu dengan alasan tidak pantas bersenggama di atas lembu. Batara Guru tidak bisa menahan birahinya, akhirnya air maninya muncrat keluar dan jatuh ke laut. Itulah yang disebut Kama Salah. Di dalam laut muncul kobaran api, laut bergelora dan menimbulkan huru hara di Suralaya. Batara Guru memerintahkan agar api itu dipadamkan dengan menggunakan segala senjata. Tetapi semua senjata tidak mempan. Dari api itu muncul seorang raksasa maha dahsyat. Ia mulai melahap ikan di laut. Dia adalah Batara Kala. Batara Guru kuatir bahwa Batara Kala akan melumat seluruh makhluk hidup di alam semesta, maka Batara Guru memanggil Batara Kala. Dia mencabut taring Batara Kala, dan memberi dia 135 jenis manusia yang dapat menjadi makanannya.
Setelah Batara kala pergi, Batara Guru menyesal. Ia menganggap bahwa jumlah jenis itu terlalu banyak, maka dia mengutus Hyang Wisnu untuk meruwat jenis manusia itu. Batara Wisnu meruwat mereka. Mereka disuruh memakai rajah kala cakra sebagai penolak maksud jahat Batara Kala. Ketika Batara Kala tidak mendapat makanan, dia bergaul dan lalu merajai makhluk halus yang jahat. Dalam versi ini nantinya Batara Kala mendirikan agama kejahatan yang disebut agama Kala.
Prosesi Upacara Ruwatan
Sesaji Ruwatan
Menurut Pakem Murwakala, sesaji Murwakala ada 36 jenis sebagai berikut :
- Tuwuhan, yang terdiri dari: pisang raja, cengkir, atau kelapa muda dan pohon tebu wulung masing-masing dua pasang yang diletakan dikanan-kiri kelir atau layar tempat pegelaran wayang kulit.
- Pari segedheng yaitu: terdiri dari empat ikat padi sebelah menyebelah.
- Satu butir buah kelapa yang sedang bertunas (tumbuh).
- Dua ekor ayam (betina dan jantan) yang diikatkan pada tuwuhan di kanan- kiri kelir seperti pada butir 1. Yang jantan di kanan dan yang betina di kiri.
- Empat batang kayu bakar yang masing-masing panjangnya satu hasta (+ 40 cm).
- Ungker Siji yaitu satu buah gulungan benang.
- Satu lembar tikar yang masih baru.
- Empat buah ketupat pangluar (= Pembebas atau penolak).
- Satu bantal baru.
- Sebuah sisir rambut.
- Sebuah serit (Sisir khusus untuk mencari kutu rambut).
- Sebuah cermin.
- Sebuah payung.
- Sebotol minyak wangi.
- Tujuh macam kain batik.
- Daun lontar satu genggam.
- Dua bilah pisau.
- Dua butir telur ayam kampung.
- Gedhang ayu (pisang raja yang sudah ranum), Suruh ayu (sirih yang digulung dan diikat dengan benang putih, Krambil Grondhil yaitu kelapa tanpa sabutnya; gula kelapa setangkep; beras sapitrah; ayam panggang.
Catatan
Gedhang ayu mempunyai maksud nggegadhang supaya rahayu artinya mengharapkan agar selamat bahagia.
Suruh ayu mempunyai maksud ngangsu kawruh kang rahayu, artinya mencari ilmu pengetahuan yang berguna.
- Air tujuh macam bunga yang ditempatkan dalam jambangan baru dan dimasuki uang logam.
- Seikat benang lawe
- Minyak kelapa untuk lampu blencong (lampu minyak untuk menerangi layar wayang kulit, digantung diatas kepala dalang).
- Nasi Gurih (nasi uduk) dan daging ayam yang digoreng.
- Satu gelas air badheg yaitu arak kilang aren atau minuman keras.
- Satu gelas air kilang tebu.
- Tujuh macam tumpeng yaitu tumpeng magana; tumpeng rajeg doni; tumpeng telur; tumpeng pucuk cabe merah; tumpeng tutul; tumpeng sembur; tumpeng robyong.
- Tujuh macam jenang ketan: dodol ketan; wajik, jadah, dan sebagainya.
- Jajan pasar (buah-buahan dan kue yang bemacam-macam).
- Ketupat lepet.
- Jenang abang, jenang putih, jenang lemu (bermacam-macam bubur).
- Rujak legi.
- Rujak croba.
- Sesaji yang terdiri dari cacahan daging dan ikan.
- Perlengkapan/alat-alat dapur.
- Kendi berisi air penuh.
- Diyan anyar kang murub (pelita baru yang dinyalakan).
Upacara dipimpin oleh dalang senior yang juga keturunan seorang dalang. Sepanjang pertunjukan wayang, anak yang diruwat tidak boleh meninggalkan tempat.
Urutan Upacara
- Pertama diadakan upacara siraman. Anak yang diruwat dimandikan dengan air bunga (air kembang setaman). Setelah mandi dia dibersihkan. Kepada anak yang diruwat dikenakan baju Jawa warna putih yang secara khusus dibuat untuknya. Ki dalang lalu mengajak dia bersama-sama dengan “pinisepuh” wanita menghadap ayah- ibunya dan bersujud kepada mereka.
- Dilanjutkan dengan selamatan seadanya disertai doa khusus oleh ki Dalang di hadapan keluarga dan kerabat enam rumah (selamatan berbentuk makan bersama).
- Setelah sesaji lengkap, iring-iringan pembawa sesaji pergi ke tempat acara ruwatan, disusul oleh rombongan anak yang akan diruwat.
- Anak yang diruwat, ayah-ibu dan para sesepuh dipersilakan duduk di tempat yang disediakan dan sesaji diletakkan di atas meja khusus yang diatur oleh dalang.
- Sebelum gamelan ditabuh (Ladrang Wilujeng Laras Pelog Pathet 6), Ki Dalang menyerahkan 5 potong tebu wulung (hitam) sepanjang sekitar 40 cm, 21 kuntum melati, dan sebutir tunas kelapa. Ki Dalang kemudian minta celana dalam dari anak yang diruwat. Selanjutnya Ki Dalang mempergelarkan wayang kulit dengan cerita “Murwakala”. Ketika cerita hampir selesai, Ki Dalang menghentikan pertunjukan untuk melaksanakan upacara srah-srahan.
Srah-srahan
- Dengan membawa guntung kecil dan dua helai saputangan, didahului anak yang diruwat, ayah-ibu menghadap ki dalang untuk menyampaikan niatnya. Anak dipangku oleh ki dalang.
- Anak yang diruwat bersujud kepada ayah-ibunya. Setelah itu ayah- ibu menggunting sedikit rambut anak tersebut dan diletakkan pada saputangan masing-masing dan diserahkan kepada ki dalang.
- Setelah pergelaran wang kulit usai, anak yang diruwat dan ayah ibunya menghampiri ki dalang untuk mengucapkan terima kasih dan ki dalang menyerahkan potongan ramput anak yang diruwat kepada ibunya. Celana dalam anak itu juga dikembalikan sebagai bekal penolak bala selanjutnya.
Tirakatan
Upacara ruwatan dilaksanakan mulai dari jam 09.00 pagi sampai sore hari. Pada malam harinya diselenggarakan malam tirakatan dengan pentas wayang kulit. Biasanya lakon yang digelar ialah lakon yang berbobot, umpamanya “Bimasuci”.
Refleksi Mengenai Ruwatan
Ruwatan sesungguhnya sudah dikenal paling tidak dari sastra dan ukiran candi di zaman Majapahit. Tetapi cerita ruwatan kuno belum berbentuk lakon Murwakala, Batara Kala, dan manusia sukerta.
Inti ruwatan kuno: Ada makhluk hidup yang dianggap hina, yakni binatang buas berwujud raksasa yang tinggal di hutan. Tetapi aslinya mereka adalah makhluk mulia berasal dari dewa-dewi. Mereka menjadi makhluk hina karena pernah menjadi penyebab kemarahan makhluk yang lebih berkuasa. Hal itu mengakibatkan noda pada dirinya. Mereka akan dikembalikan dalam bentuk aslinya oleh seorang dewa (Batara Guru) atau seorang ksatria (Sadewa, Arjuna, Kresna, Bima). Kemarahan pihak yang berkuasa itu mengakibatkan “kutukan”.
Jika peristiwa dalam cerita kuno itu direnungkan, maka tidak jelas apakah kutukan itu merupakan hukuman yang adil untuk suatu perbuatan, meskipun misalnya tuduhan itu berupa tindakan serong. Kutukan semacam itu seolah-olah merupakan takdir yang tak terelakkan. Sedangkan pertemuan mereka dengan ksatria merupakan juga sesuatu yang kebetulan meskipun nantinya ada keuntungan bagi ksatria yang melaksanakan pengruwatan.
Pola pengruwatan kuno ini rasanya mau mengajarkan : Dunia “jagad gede” atau dunia dewata, dan dunia kecil atau dunia manusia berbaur selaras.
Namun juga timbul goncangnya keselarasan, dewa yang serong, kemarahan dewa, manusia mengalami hambatan. Tekad ksatria melawan hambatan tersebut dapat mengembalikan keselarasan hidup dewa dan meluruskan hidup manusia ke jalan yang benar.
Bagi manusia, ruwatan adalah tekad manusia untuk mengalahkan rintangan demi kembalinya keselarasan jagad gede dengan jagad cilik. Kehidupan adalah rangkuman antara jagad gede dan jagad cilik, dunia dewata dan dunia manusia.
Source:
Wikipedia
Wikipedia