Uang Panai' Dan Status Sosial Perempuan Dalam Pernikahan Suku Bugis Makassar

Budaya pernikahan pada setiap daerah selalu menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas. Baik dari segi latar belakang budaya pernikahan tersebut, maupun dari segi kompleksitas pernikahan itu sendiri. Karena dalam pernikahan yang terjadi bukan hanya sekedar menyatukan dua orang yang saling mencintai, lebih dari itu, ada nilai-nilai yang tidak lepas untuk dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-masing daerah.

Di Sulawesi Selatan, budaya pernikahan Bugis Makassar sendiri, ada satu hal yang sepertinya telah menjadi khas dalam pernikahan yang akan diadakan yaitu Uang Panai’ (uang naik) atau oleh masyarakat setempat disebut dui’ menre’ (bahasa Bugis).

Uang Panai’ sendiri adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak laki-laki pada saat mappettu ada (mappasienrekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga 

Pengertian dan Perbedaan Uang Panai’ dengan Mahar

Pemahaman yang muncul dari sebagian orang Bugis-Makassar tentang pengertian mahar dan Uang panai’ masih banyak yang keliru. Dalam adat perkawinan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat dua istilah sompa dan Dui’ Menre’ (Bugis) atau Uang Panai’/Doi’ Balanja (Makassar). Uang Panai’ adalah “Uang antaran” yang harus diserahkan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Sedangkan Mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Kata Mahar berasal dari bahasa arab yaitu al-mahr, jamaknya al-muhurataual-muhurah. Menurut bahasa, kata al-mahr bermakna al- Shadaq yang dalam bahasa Indonesia lebih umum dikenal dengan ”maskawin” yaitu pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri ketika berlangsungnya acara akad nikah diantara keduannya untuk menuju kehidupan bersama sebagai suami istri.

Secara sepintas, kedua istilah tersebut diatas memang memiliki pengertian dan makna yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian

kedua istilah tersebut jelas berbeda.Mahar adalah kewajiban dalam tradisi Islam sedangkan Uang Panai’ adalah kewajiban menurut adat masyarakat setempat. Mahar dan Uang Panai’ tidak hanya berbeda dari segi pengertian saja, akan tetapi berbeda pula dalam hal keguanaan dan pemegang keduanya.

Uang Panai’ dipegang oleh orangtua istri dan digunakan untuk membiayai semua kebutuhan jalannya resepsi pernikahan. Sedangkan Mahar dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya sendiri

Budaya Uang Panai’ dalam perspektif masyarakat Bugis Makassar

Dalam perspektif masyarakat Bugis Makassar Uang Panai’ lebih mendapat perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses pernikahan, sehingga jumlah nominal Uang Panai’ lebih besar dari pada jumlah nominal mahar. Sedangkan dalam syariat islam itu sendiri tidak membatasi jumlah mahar yang harus diberikan calon suami kepada calon istrinya, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhaan istri. 

Beberapa orang yang memang paham benar dengan budaya Uang Panai’ ini biasanya melakukan kompromi terlebih dahulu. Terkait dengan budaya Uang Pania’ untuk menikahi wanita Bugis Makassar, jika jumlah uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria, hal tersebut akan menjadi kehormatan bagi pihak keluarga perempuan. Kehormatan yang dimaksud di sini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan mengadakan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui Uang Panai’ tersebut.

Jumlah nominal Uang Panai’ untuk menikahi wanita Bugis Makassar ini kemudian dipersepsikan oleh masyarakat modern sekarang ini sebagai perilaku menjual anak perempuan. Bagaimanapun persepsi merupakan gambaran yang bergantung dari pengalaman sebelumnya. Bagi pria daerah lain yang membutuhkan modal yang tidak begitu banyak untuk pernikahan seperti pria Jawa, sangat wajar jika mempersepsikan Uang Panai’ sebagai harga seorang anak perempuan Bugis Makassar karena pada daerah asalnya tidak demikian banyaknya. Begitupun bagi individu yang menganggap kemegahan bukanlah jaminan sejahteranya kehidupan rumah tangga ke depan. Ada juga lamaran yang akhirnya tidak diteruskan, karena tidak bertemunya keinginan dua belah pihak. Langkah terakhir yang ditempuh bagi pasangan yang telah saling mencintai adalah kawin lari, atau dalam masyarakat Bugis Makassar dikenal dengan nama Silariang (kawin lari). Langkah ini merupakan jalan pintas untuk tetap bersama. 

Orang tua yang anaknya dibawa lari disebut Tumasiri. Malu yang berhubungan dengan harga diri orang Bugis Makassar sampai-sampai orang tua atau pihak keluarga perempuan akan melakukan pembunuhan di muka umum kepada pasangan yang melakukan Silariang. Langkah ini disebut menegakan Siri’ Na Pacce (mappatettong siri’). Hukum adat mengatakan, membunuh si pelaku silariang dengan alasan siri’ tidak bisa dikenakan hukuman, karena ia dianggap sebagai pahlawan yang membela siri’nya. Di sisi lain, dalam hukum pidana, tidak menerima alasan kalau ada terjadi kasus pembunuhan termasuk alasan siri’, dan pelakunya bisa dikenakan pasal pembunuhan atau penganiayaan dalam KUHP. 

Meskipun dengan berbagai polemik dan banyaknya persepsi mengenai Uang Panai' Tradisi Uang Panai’ tetap menjadi penting untuk dilakukan karena di era serba modern ini sudah banyak tradisi masyarakat adat yang mulai meninggalkan adat istiadat daerah asal mereka. Koentjaraningrat. (2005) memandang sistem nilai budaya merupakan tingkat tertinggi paling abstrak dari adat istiadat. Hal tersebut disebabkan oleh nilai budaya yang dari konsep konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh suatu masyarakat sehingga nilai tersebut dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi pada kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

Selain itu masyarakat bugis makassar juga sangat menghargai perempuan bugis makassar.
Perempuan Bugis Makassar disimbolkan sebagai sesuatu yang berharga dan sulit dimiliki karena memiliki perilaku ma’lebbi. Ma’lebbi sendiri adalah perilaku  seorang perempuan yang mampu menjaga tata kramanya, baik secara verbal maupun nonverbal. Demikian pula anrong rante (liontin) yang bermakna perempuan adalah penghias dan pemanis keluarga. Dari ungkapan-ungkapan tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan Bugis/Makassar merupakan sosok yang cerdas dan lembut sehingga mampu menjadi penengah dalam keluarga dan posisinya tetap tidak dibawah laki-laki melainkan menjadi penghias yang cantik dalam keluarga.
Reaksi tetangga dan Keluarga kalau uang panai' rendah
(Nda semua begini tapi kebanyakan begini🙄)

Mahar dan Uang Panai' Dalam Sudut Pandang Hukum Islam

Di dalam hukum Islam mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Seseorang bebas menentukan bentuk dan jumlah yang diinginkan karena di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan jumlah atau batasan mahar namun disunnahkan mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki (calon suami) bahkan dalam Islam dianjurkan untuk tidak memberatkan calon suami atau pihak laki-laki dalam hal pemberian mahar.

Di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang mengatur tentang jumlah atau batasan uang Panai'. Namun demikian hukumnya mubah(dibolehkan) sebagai salah satu bentuk tolong menolong dan diserahkan pada tradisi masyarakat setempat sesuai dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak.

Masyarakat Bugis Makassar memahami bahwa uang Panai' merupakan salah satu pra syarat yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai laki-laki. Jika itu tidak dilakukan maka kemungkinan besar lamaran itu ditolak karena uang Panai' sebagai salah satu status sosial dan kebanggaan pihak calon mempelai wanita jika uang Panai'nya tinggi, ditambah adat yang berlaku di masyarakat Bugis Makassar juga menerapkan tanah sebagai mahar yang terkadang bagi sebagian orang menganggap hal demikian juga memberatkan namun demikian mengingat perkembangan dan pemahaman masyarakat Bugis Makassar dewasa ini sedikit mengalami pergeseran tergantung kesepakatan kedua belah pihak( calon suami dan calon istri) dan hal tersebut sebagai bentuk wata‟awanu alal birri (dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan).

Posting Komentar

© +62 People. All rights reserved. Developed by Jago Desain